Prosedur Hukum dalam Sistem Peradilan di Indonesia

Materi Belajar ke 8 Prosedur Hukum dalam Sistem Peradilan di Indonesia
(materi ini bebas disebarluaskan sehingga tujuan pemerintah dalam pemberian bantuan hukum cepat tercapai)

H. PROSEDUR HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
(oleh : Agung Riyanto, SH.*)

1. Pendahuluan.
Mata pelajaran Prosedur Hukum dalam Sistem Peradilan di Indonesia adalah mata pelajaran paralegal yang mempelajari tentang sistem dan prosedur peradilan pidana, peradilan perdata, peradilan Tata Usaha Negara, peradilan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, dan sekilas tentang peradilan militer, sehingga setelah mengikuti mata pelajaran ini diharapkan peserta dapat menjelaskan sistem dan prosedur peradilan pidana, peradilan perdata, peradilan Tata Usaha Negara, peradilan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung serta dapat menjelaskan sekilas sistem peradilan militer.

2. Sistem peradilan pidana;

Sistem Peradilan Pidana adalah suatu sistem yang menegakkan hukum pidana atau kejahatan. Tindakan pidana atau kejahatan yang dimaksud dapat berupa perampasan kemerdekaan atau hak seseorang, pengambilan paksa harta benda, dan tindakan yang menghilangkan nyawa seseorang (pembunuhan).
Tujuan dari sistem peradilan ini, yaitu mencegah masyarakat menjadi korban tindak pidana atau kejahatan dan agar pelaku tindak pidana / kejahatan tidak mengulangi perbuatan yang dilakukannya. Sistem peradilan juga memungkinkan pencegahan terhadap bahaya akibat jika tidak adanya keadilan dalam masyarakat.

Sistem Peradilan Pidana di dunia pada prinsipnya memegang teguh doktrin legal audit, yaitu :
– Sesorang belum dianggap bersalah (masih tersangka) sebelum ada penetapan kesalahan. Sementara penetapan kesalahan harus dapat dilakukan sesuai prosedur dan dilakukan oleh pihak-pihak yang berwewenang.
– Seseorang tidak dianggap bersalah meskipun bukti-bukti ada dan memberatkan apabila perlindungan hukum tidak ada dan pengadilan bersifat memihak.

Berdasarkan doktrin tersebut di atas, ada beberapa aturan mendasar sistem Peradilan Pidana yang harus diperhatikan :
– Saat proses hukum pidana tidak akan menyentuh pelaku apabila tidak ada hukum yang tertulis.
Dalam hal ini di Indonesia berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur kejahatan / pidana apa saja yang bisa diproses. Peranan Undang-Undang di sini sangat penting karena perundang-undangan memberikan kewenangan terhadap pelaku Peradilan Pidana untuk mengambil kebijakan dan tindakan. Lembaga Legislatif ikut berpartisipasi membuat Undang-Undang yang berkaitan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan menyesuaikan dengan perkembangan Indonesia.

Karena sampai saat ini KUHP yang berlaku di Indonesia masih berpedoman kepada KUHP Hindia Belanda. Sehingga pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana ini merupakan fungsi dari tiga hal, yaitu :
– pembentukan hukum (pembuatan hukum),
– pelaksanaan hukum, dan
– penegakkan hukum oleh lembaga-lembaga yang ada.

Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku diatas, berarti proses hukum benar-benar mempunyai asas kegunaan yang sesuai dengan kepentingan masyarakat yang sudah dirinci sebagai tertib hukum. Dan pekerjaan Penuntut Umum adalah pekerjaan yang mewakili masyarakat tersebut.
– Asas prioritas. Proses Peradilan Pidana harus benar-benar merinci tindakan pelaku kejahatan sesuai Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku dan tindakan yang tepat untuk diberikan kepada pelaku tindakan atau kejahatan pidana.

Selain hal di atas, Peradilan Pidana di Indonesia memberlakukan aturan bahwa semua warga negara berhak dan sama kedudukannya dalam hukum (UUD 1945). Proses Sistem Peradilan Pidana di Indonesia sebagai berikut:
1) Tahap penyelidikan oleh Kepolisian. Proses penyelidikan dapat dilakukan oleh lembaga penegak hukum dalam hal ini kepolisian apabila ada laporan dan pengaduan kejahatan atau seseorang tertangkap oleh polisi. Selanjutnya baru dilakukan proses-proses lanjutan seperti pemeriksaan tersangka, penangkapan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemeriksaan saksi, pemeriksaaan tempat kejadian perkara (TKP), dan lain-lain. Penyelidikan tersebut kemudian dijadikan Berkas Perkara (BP) yang diserahkan kepada Penuntut Umum.
2) Tahap penuntutan oleh Kejaksaan. Pada tahap ini dilakukan pendaftaran dan pengajuan perkara oleh Penuntut Umum ke Pengadilan.
3) Tahap pemeriksaan di pengadilan oleh Hakim. dalam hal ini wewenang pengadilan tinggi adalah mengadakan persiapan sidang dan sidang perkara yang diajukan oleh Penuntut Umum. Sidang dapat dilakukan beberapa kali sesuai kebutuhan. Proses sidang di antaranya, pembacaan tuntutan, pernyataan saksi, dan pembacaan pembela. Tahap terakhir proses ini barulah pembacaan keputusan. Sementara, tugas dan fungsi hakim agung berkaitan dengan semua yang terjadi di ruang sidang.
4) Tahap pelaksanaan keputusan (eksekusi) oleh Kejaksaan dan Lembaga Permasyarakatan. Eksekusi dapat dilakukan apabila persidangan sudah menghasilkan keputusan hakim. Eksekusi bisa berubah, apabila ada proses hukum lanjutan seperti Banding, Kasasi, atau Peninjauan Kembali (PK).

3. Sistem peradilan perdata (umum dan agama);

Sistem Peradilan Perdata adalah sistem atau organisasi pengadilan yang menegakkan hukum perdata yang dapat terjadi pada perorangan atau badan hukum. Contoh kasus yang dapat dikenai Hukum Perdata, yaitu sengketa kepemilikan tanah, sengketa antara badan hukum, sengketa perusahaan, dan lain-lain. Termasuk dalam hukum perdata adalah hukum perkawinan, hukum perburuhan, hukum pertanahan, hukum perdagangan, dan sebagainya. Dalam keseharian hukum ini terkadang disebut juga Hukum Sipil dan Hukum Privat.Sementara Hukum Perdata ini, bila dilihat dari fungsinya ada dua. Pertama merupakan hukum materil, yaitu hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban Perdata semua warga negara dan melindungi semua kepentingannya. Kedua, hukum yang mengatur bagaimana cara mempertahankan kepemilikan. Misalnya, pada saat sengketa kepemilikan tanah. Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia sampai saat ini masih berlaku adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang juga berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Hindia Belanda, seperti KUH Pidana. hal ini berdasarkan UUD 1945 pasal 2 Peralihan. Kitab Undang-Undang Hukum yang berpedoman kepada KUH Perdata Hindia Belanda ini berlaku sampai terbentuknya KUHP yang baru. Beberapa jenis Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia ini juga masih bersifat plural.

Di mana masing-masih wilayah atau daerah Indonesia mempunyai hukum masing-masing. Contohnya hukum perkawinan dan hukum pembagian waris yang masih disesuaikan dengan adat istiadat yang berlaku. Namun secara umum tetap diakui secara nasional. Misalkan pernikahan dalam agama tertentu sudah sah apabila ada wali dan saksi, namun tetap harus didaftarkan di Catatan Sipil berupa Akta Nikah. Sistem Peradilan Perdata di Indonesia juga mempunyai landasan hukum persamaan kedudukan warga negara kedudukan warga negara, Yaitu, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum. Tahapan proses sistem Peradilan Perdata di Indonesia, yaitu :
1) Pendaftaran gugatan ke panitera pengadilan di wilayah pengadilan yang ingin dituju, di sini, gugatan akan mendapat nomor perkara dan kemudian diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri.
2) Pengajuan gugatan di tempat yang tepat agar perkara bisa segera diajukan ke pengadilan. Tempat perkara yang dimaksud adalah, tempat perkara yang digugat. Contohnya persengketaan tanah, berarti tempat perkaranya sesuai dengan wilayah administratif tanah yang di sengketakan berada.
3) Persiapan sidang. Saat persiapan sidang Hakim menentukan waktu sidang yang harus dihadiri Penggugat. Apabila Penggugat tidak hadir, maka perkara dianggap batal.
4) Persidangan. Persidangan Perdata membahas identitas Penggugat dan Tergugat, penyerahan jawaban dari kedua belah pihak, penyerahan tanggapan kedua pihak, pembuktian, kesimpulan, dan keputusan Hakim.
5) Eksekusi. Eksekusi atau pelaksanaan keputusan Hakim dilakukan setelah keputusan dan semua upaya hukum (Banding, Kasasi, dan PK) selesai.

– Peradilan umum (atau disebut juga Peradilan sipil) adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi sebagian rakyat pencari keadilan pada umumnya.[1][2]
Peradilan umum meliputi:
1) Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota, dengan daerah hukum meliputi wilayah kabupaten/kota
2) Pengadilan Tinggi, berkedudukan di ibu kota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi
3) Pengadilan Khusus
a) Pengadilan Anak
b) Pengadilan Niaga
c) Pengadilan Hak Asasi Manusia
d) Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berkedudukan di ibu kota provinsi, dengan daerah hukum meliputi wilayah provinsi[4]
e) Pengadilan Hubungan Industrial
f) Pengadilan Perikanan

– Peradilan agama adalah Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan Pengadilan Agama guna menegakkan hukum di Indonesia dan keadilan, jujur dan terpercaya. Diatur oleh Hukum Islam di Indonesia, Hukum adat Indonesia dan juga Pasal 24 yang pada ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 tentang Dasar Hukum Pengadilan Agama[1].Salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang khulu (Perceraian perkawinan), waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, rujuk dan ekonomi.[2] Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
1) Pengadilan Tinggi Agama (pengadilan tingkat banding)
2) Pengadilan Agama (pengadilan tingkat pertama)
3) Pengadilan Khusus

4. Sistem peradilan tata usaha negara;

Peradilan tata usaha negara adalah lingkungan peradilan yang dibentuk dengan tujuan menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Secara umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau PERATUN merupakan lingkungan peradilan dibentuk dengan tanda disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986. Peradilan tata usaha negara menjadi lembaga hukum di bawah Mahkamah Agung (MA) yang membantu menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara (TUN).

Tujuan dibentuknya peradilan tata usaha negara.
a. Untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum
b. Menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat.

Tugas peradilan tata usaha negara sebagai berikut.
a. Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara (TUN)
b. Meneruskan sengketa-sengketa Tata Usaha Negara (TUN) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) yang berwenang
c. Peningkatan kualitas dan profesionalisme hakim
d. Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan guna meningkatkan dan memantapkan martabat dan wibawa aparatur dan lembaga peradilan
e. Memantapkan pemahaman dan pelaksanaan tentang organisasi dan tata kerja kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara
f. Membina calon hakim dengan memberikan bekal pengetahuan di bidang hukum dan administrasi Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar menjadi hakim yang profesional

Fungsi peradilan tata usaha adalah sebagai berikut.
a. Melakukan pembinaan pejabat struktural dan fungsional serta pegawai lainnya, baik menyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum
b. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya
c. Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara di bidang kehakiman.

5. Sistem peradilan mahkamah konstitusi dan mahkamah agung;

Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan dalam hal penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung atau MA merupakan pengadilan keadilan atau court of justice. Sedangkan Mahkamah Konstitusi atau MK lebih mengarah pada lembaga pengadilan hukum atau court of law.

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah dua lembaga negara dalam kekuasaan kehakiman. Berikut perbedaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi Perlu diketahui bahwa Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD 1945. Hal ini tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Meski kerap dianggap sama, faktanya Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) itu berbeda. Untuk merangkumnya, berikut sejumlah perbedaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Perbedaan Wewenang
Wewenang Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 adalah mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Wewenang Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk empat hal yaitu:
1) Menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
2) Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
3) Memutuskan pembubaran partai politik.
4) Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum

Perbedaan Tugas
Selain kewenangan, perbedaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah tugas. Mahkamah Agung memiliki peran khusus untuk memeriksa dan memutuskan beberapa hal, seperti permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Sementara itu, Mahkamah Konstitusi berhak menguji dan memutuskan sejumlah hal sesuai dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan apabila ada usulan pemberhentian presiden dan wakil presiden dari DPR, Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan usulan DPR tersebut.

Perbedaan Pencalonan dan Jumlah Hakim
Perbedaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah perihal pencalonan dan jumlah hakim. Mahkamah Konstitusi memiliki sembilan Hakim Konstitusi. Dari kesembilan hakim tersebut, tiga orang hakim diajukan oleh Mahkamah Agung, tiga orang diajukan oleh DPR, dan tiga orang lainnya diajukan presiden.
Sementara itu, Hakim Agung dalam Mahkamah Agung terdiri (paling banyak) atas 60 orang. Sebelum diangkat menjadi Hakim Agung, calon hakim akan diusulkan oleh Komisi Yudisial.
Tugas Komisi Yudisial berdasarkan Pasal 14 UU 22/2004 adalah melakukan pendaftaran calon Hakim Agung, melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung, menetapkan calon Hakim Agung, dan mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. Selanjutnya, DPR akan memberi persetujuan dan selanjutnya ditetapkan oleh presiden.

Perbedaan Cabang Kekuasaan Kehakiman
Wewenang Mahkamah Konstitusi tidak didistribusikan kepada lembaga lain, karena tidak memiliki cabang kekuasaan kehakiman. Hanya ada satu Mahkamah Konstitusi yang berkedudukan di Jakarta.
Sementara itu, Mahkamah Agung membawahi badan peradilan yang berada dalam beberapa lingkungan, antara lain peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Perbedaan Sifat Putusan
Perbedaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi selanjutnya adalah sifat putusan. Putusan dari kasus yang menjadi ranah wewenang Mahkamah Konstitusi bersifat final atau langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dari putusan tersebut mencakup kekuatan hukum yang mengikat (final dan binding).

Kemudian, sifat putusan Mahkamah Agung juga bersifat final. Akan tetapi, dapat dilakukan upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan grasi.

6. Overview/sekilas tentang peradilan militer.

Peradilan Militer adalah bentuk dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Angkatan Bersenjata. Peradilan Militer berfungsi untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan cara memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Peradilan Militer adalah bentuk dari pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Angkatan Bersenjata. Peradilan Militer berfungsi untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan cara memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, kekuasaan kehakiman berada di Mahkamah Agung. Adapun badan peradilan di bawahnya meliputi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Konstitusi.

Pada tulisan ini secara khusus akan membahas Peradilan Militer yang di dalamnya terdiri dari pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama, dan pengadilan militer pertempuran. Agar kamu lebih memahami dan menguasai pembahasan ini, simak paparannya di bawah ini.

Jenis-jenis Peradilan Militer

Mengutip dari buku Pelaksanaan Aturan Standar Operasional Penggunaan Senjata Api bagi Aparat Militer oleh Aditya Pratama, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer dilaksanakan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Militer yang terdiri dari:
a. Pengadilan Militer
Pengadilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Angkatan Bersenjata dan berpuncak pada Mahkamah Agung.
Pengadilan ini mempunyai wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pada tingkat pertama dari golongan yang meliputi:
– Prajurit yang berpangkat kapten ke bawah atau menurut undang-undang disamakan dengan prajurit, seperti prajurit siswa, prajurit mobilisan, dan orang yang diberi pangkat titular
– Anggota suatu golongan, jawatan, badan yang disamakan dan dianggap sebagai rajurit berdasarkan Undang-Undang
– Seseorang yang atas Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer

b. Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan Militer Tinggi bertugas mengadili perkara pidana yang diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer. Berikut adalah wewenang Pengadilan Militer Tinggi:
– Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat mayor ke atas.
– Menurut undang-undang yang dipersamakan dengan prajurit seperti prajurit siswa, prajurit mobilisan, dan orang yang diberi pangkat titular
– Anggota suatu golongan, jawatan, badan yang disamakan dan dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang

c. Pengadilan Militer Utama
Berdasarkan Pasal 42 dan 43 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997, kewenangan Pengadilan Militer Utama meliputi:
1) Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertamanya di Pengadilan Militer Tinggi dan dimintakan banding.
2) Memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang wewenang yang mengadili:
– Antar-Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berbeda
– Antar-Pengadilan Militer Tinggi
– Antara-Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
3) Memutus perbedaan pendapat antara Papera dan Otmil tentang penyerahan atau diajukan tidaknya suatu perkara ke pengadilan militer atau pengadilan umum.

d. Pengadilan Militer Pertempuran
Pengadilan Militer Pertempuran mempunyai wewenang, yaitu pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di daerah pertempuran.
Pengadilan ini berkedudukan di suatu medan pertempuran. Dengan demikian Pengadilan Militer Pertempuran kerap berpindah-pindah mengikuti gerakan pasukan pada saat terjadi pertempuran.
Keistimewaan dalam pengadilan militer pertempuran, yakni alat bukti tidak harus dibawa ke dalam sidang pengadilan. Pada Pengadilan Militer Pertempuran, pendapat hakim dapat digunakan sebagai alat bukti di persidangan.

 

 

*)Penulis adalah :
– Sekjend di Perkumpulan Jaga Tatanan Cakra,
– Kepala Kantor di LBH Jaga Tatanan Cakra Cabang Bekasi , dan
– Tenaga Ahli di Firma Hukum Sahardjo Pejuang Keadilan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *